Dalam jalan menuju BIM

Di Indonesia CAD masih menjadi alat kerja utama bagi arsitek—dan BIM terasa masih jauh di masa depan.

oleh Erwin Maulana

Computer aided drawing, atau CAD, adalah sistem perekayasaan yang sudah digunakan oleh industri manufaktur, konstruksi dan industri arsitektur sejak tahun 1980an. Untuk arsitek, sistim CAD sudah menjadi sebuah alat kerja yang mengubah pola kerja seorang arsitek dari gambar kerja hingga proses perancangan, kemudian mempresentasikan gagasan serta rencana secara detail.

Dewasa ini American Institute of Architecture (AIA) melalui beberapa vendor sistem CAD sudah maju selangkah, menerapkan Building Information Modeling (BIM) sebagai standar dalam sistem kerja arsitektur. Sebagai hasilnya BIM juga telah diadopsi oleh arsitek di berbagai negara di Asia, termasuk China dan Singapura. Di Indonesia, bagaimanapun, CAD merupakan perangkat kerja utama arsitek—dan BIM masih berada di masa depan.

Menurut Rizal Syarifuddin dan Liza Wiryawan dari Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI), meski CAD mempunyai peran yang lebih besar sebagai perangkat kerja jika dibandingkan BIM, tetapi hal itu diakui sedikit lebih kompleks, karena CAD hanya mengubah pola kerja arsitek, dengan membawa gambar dari meja ke komputer. BIM, sebaliknya, mampu mengubah seluruh prosedur desain di dalam arsitektur.

Menurut Rizal dan Liza mewakili tim IAI CAD, CAD mulai masuk ke Indonesia diakhir tahun 1980an melalui pemerintah, ketika Kementrian Riset dan Teknologi yang dikepalai mantan Presiden BJ Habibie mencanangkan proyek raksasa Pusat Penelitian Informasi dan Teknologi (Puspitek). Kemudian terbentuk konsorsium konsultan arsitek—gabungan 10 konsultan arsitektur besar di Indonesia—yang kemudian dikenal sebagai Archi-10. Mereka inilah yang kemudian pada awalnya menerapkan CAD di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia terhitung tidak terlambat mengantisipasi teknologi CAD. Bahkan di era 1990-an mahasiswa dan dunia pendidikan juga sudah mengenal CAD.

Kemudian, perkembangan teknologi CAD menjadi semacam keharusan yang alami bagi industri konstruksi di Indonesia. Tetapi terhambat oleh beberapa permasalahan yang mengemuka: antara lain lemahnya daya beli serta kesadaran hak cipta perangkat lunak yang rendah, menyebabkan banyaknya penggunaan perangkat CAD tidak sah. Kenyataan yang terjadi karena kesenjangan yang besar antara perusahaan arsitektur mapan, yang mengenal teknologi berada di Jakarta (dan kebanyakan di pulau Jawa) menangani proyek-proyek besar; sementara perusahaan yang lebih kecil, “tradisional” tersebar di luar ibukota, di mana mereka juga mempunyai akses yang kurang terhadap informasi dan teknologi, tetap berjuang untuk terus bertahan, dan kemudian mempergunakan perangkat CAD yang tidak sah untuk mengejar ketertinggalan.

Situasi membuat IAI bernegosiasi, sekitar tahun 2001-2002, untuk mendapatkan potongan harga dari para distributor CAD. Dari perspektif IAI, hal yang dijadikan catatan adalah banyaknya anggota IAI berasal dari perusahaan kecil dan menengah, membuat mereka tidak mampu untuk dibebankan terlalu lebih untuk jasa mereka dan kemudian menjadikan mereka tidak mampu membeli perangkat lunak yang sah. Perangkat lunak lebih murah, menurut IAI akan mengurangi penggunaan perangkat lunak yang tidak sah. Di lain pihak distributor perangkat lunak CAD mengatakan mereka harus membayar pajak impor yang besar untuk produk mereka, yang berarti tidak dapat menurunkan harga.

Pada masa ini, IAI menyelenggarakan pusat pelatihan CAD yang terotorisasi. Dimulai tahun 1999 tetapi berakhir pada 2004, ketika IAI tidak mampu lagi untuk membayar biaya tahunan, yang menunjukkan fakta bahwa pasar IAI sebagian besar adalah para mahasiswa dan arsitek muda yang baru lulus.

Sementara itu, akhir tahun 2005 penegak hukum memulai mengawasi secara ketat pemakai perangkat lunak tidak sah, termasuk sistem CAD; beberapa perusahaan arsitektur di Indonesia terkena dampaknya.

Meski demikian, IAI menyadari pentingnya CAD sebagai perangkat kerja arsitek. IAI memulai mencari—melalui survei dan penelitian— alternatif yang lebih terjangkau. Diskusi dengan asosiasi arsitek dari negara lain, seperti Philipina, Singapura dan China, menghasilkan kesimpulan beberapa alternatif vendor yang dicoba oleh tim IAI CAD.

Rizal mengatakan pertimbangan utama untuk memilih perangkat lunak pengganti CAD adalah kecocokan, atau kemiripan dengan dasar platform CAD yang sebelumnya dipergunakan oleh pengguna. Ia mengatakan beberapa negara telah mengembangkan perangkat lunak CAD mereka sendiri, seperti Singapura, melalui Singapore Institute of Architect (SIA). IAI juga melihat hal ini akan terjadi di Indonesia.



Rizal berkata, melalui penelitiannya, IAI memilih perangkat lunak dari IntelliCAD Technology Consortium (ITC), sebuah organisasi pengembang perangkat lunak berbasis IntelliCAD.

Rizal mengharapkan IAI suatu hari dapat mengembangkan sistim CAD sendiri di bawah nama IAI CAD Center: “Kita berharap CAD Center kami pada akhirnya akan melakukan tiga hal: pertama, penjualan CAD. Kita akan melakukan pengadaan dan distribusi sistem, untuk mempermudah para anggota kami.

“Kedua, kita akan membuka pusat pelatihan CAD untuk menyediakan pelatihan kepada para mahasiswa arsitektur, arsitek muda, para anggota dan non-anggota IAI, untuk membuat mereka lebih mengenal teknologi dan sistem CAD. Kita tidak akan membatasi CAD pada beberapa vendor tertentu; kita akan sedapat mungkin, menyediakan pelatihan untuk semua sistem CAD menurut permintaan anggota.

“Ketiga, kami menginginkan membuat sendiri sistim CAD untuk dapat memenuhi kebutuhan para pemakai individu maupun—arsitek-arsitek, para anggota masyarakat pihak lain dalam industri arsitektur. Kita akan mengembangkan plug-ins, library dan hal-hal lain yang berhubungan dengan sistim CAD.”



Masih menurut Rizal, IAI dimasa mendatang memiliki optimisme terhadap profesi Arsitektur. Momentum optimisme bagi IAI dan profesi arsitek di Indonesia pada masa depan adalah; Pertama, Undang-undang Arsitektur akan mulai diterapkan di Indonesia; saat ini dalam Undang-Undang Hak Cipta yang sudah ada di Indonesia, karya arsitektur—hanya disebutkan—dihargai sebatas gambar kerja saja, padahal karya arsitektur itu jauh lebih dari sekedar gambar kerja, karena termasuk gagasan dan konsep desain. IAI ikut menjaga terus berjalannya proses rencana Undang undang Arsitektur yang sedang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang ini akan memberi perlindungan terhadap profesi arsitektur, juga perlindungan terhadap masyarakat pengguna jasa arsitektur, sehingga apresiasi dan penghargaan terhadap arsitek juga akan semakin meningkat.

Yang kedua adalah, adanya optimisme, dalam beberapa perkiraan oleh beberapa pengamat ekonomi pertumbuhan industri konstruksi akan meningkat dalam tahun-tahun mendatang.

Kedua kondisi diatas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan profesi arsitek dan meningkatkan kemampuan mereka untuk menerapkan tren dalam desain dan teknologi terkini.

Artikel ini dimuat pada majalah FuturArc 1Q 2008 Vol. 8,
Artikel Asli dapat dibaca disini.

1 comment:

Anonim at: 30 Juli 2008 pukul 17.16 mengatakan...

salut with arsitekturina...
salut to kang Erwin
ciaoy guys...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Checkpagerank.net
"sorry this web under maintenance"